Senin, 24 Juni 2013

Calon Bupati Itu!



               Senja mulai menyapa dunia, lelaki paruh baya itu tetap saja berdiri mematung di bawah tiang listrik, di depan rumahnya. Penampilannya kusut dan lunglai, tubuhnya dibalut pakaian yang mulai memudar. Rambutnya yang lusuh dan berantakan menjadi satu-satunya mahkota berharga yang dimilikinya, pandangannya sayu dengan pelengkap wajahnya yang mulai pasi. Tak pernah nampak alas kaki apapun yang melekat dikakinya. Tatapannya kosong, mulutnya selalu terkunci tanpa sepatah kata.
            Hampir setiap malam menjelang, ia terus diam mematung di tiang itu. Kaku dan bisu menyatu. Tidak ada seorangpun peduli dengannya. Orang seakan enggan membuang waktu untuk sekedar bertanya: mengapa, bagaimana, dan untuk apa ia berdinas di bawah tiang listrik itu. Hanya malam saja. Yah, hanya saban malam. Tidak pernah terlihat pria itu dibawah mentari siang hari. Pemilik Warteg yang berjarak dua puluh meter di samping kanan pria itu berdiri hanya menyilangkan tangan di dahinya setiap kali orang bertanya tentang pria misterius itu.
“Tidak tahu asalnya dari mana. Hampir sebulan ia berada di bawah tiang listrik itu,” jawab si pemilik warung tiap kali orang bertanya identitas pria itu. Sebatas itulah wanita tua pemilik warung itu mengenal pria yang ia sebut sinting itu. Selebihnya, ia menggeleng. Hanya, kepada para penanya, sebuah nama kerap ia tinggalkan: Madasim. Rupanya nama pria itu Madasim.

***
            “Mas yakin mau nyalon Bupati?” tanya isteriku saat kuutarakan niat malam itu.
            “Menurutmu bagaimana?” aku balik bertanya, untuk menggiringnya agar optimis sepertiku.
            “Aku sih selalu mendukungmu, Mas. Tapi apa tidak dipikir dulu matang-matang. Bagaimana strategi kampanyenya? Siapa kira-kira yang akan mencoblos sampeyan? Dan yang paling penting berapa dana yang harus dikeluarkan?” Isteriku mulai kritis.
            Kugeser posisi dudukku, sekedar memberi ruang agar kami bebas bercakap. Aku tersenyum, menatap matanya tajam, dan meremas jemarinya yang lembut.
            “Yakinlah Dik, insya Allah aku menang. Semua sudah kuhitung dan kupikir masak-masak. Optimis dong!” aku mulai meyakinkan. Alih-alih memberi pertimbangan, isteriku malah melengos.
            “Aku tidak setuju, Mas. Bukan apa-apa. Tapi lihat kondisi kita dong. Rumah masih ngontrak. Jualan juga tak seramai dulu. Biaya sekolah anak kita juga selangit. Terus, Mas tahu sendiri kan, kalau nyalon Bupati itu butuh bondho akeh. Kita mau pakai uang siapa?” Isteriku mulai berceramah.
            Aku berusaha untuk tersenyum. “Meskipun kios kita tak seramai dulu, hasilnya kan masih cukup buat bayar sekolah anak-anak dan buat makan sehari-hari,” kataku tenang. Kuambil sebatang rokok dan kunyalakan, biar pikiranku tetap fresh.
            “Nanti kalau sudah jadi Bupati. Bukankah aku dapat gaji besar, tunjangan lumayan, dan mobil dinas? Diberi rumah dinas pula. Paling-paling, dua atau tiga bulan sudah balik modal. Sudahlah Dik, yang penting sekarang....”
            Lha iya Mas, nggawe bondhone sopo?” potong Isteriku. Wajahnya tampak acuh. Ia menarik jemarinya dari genggamanku. Sifat kerasnya mulai timbul.
            Sejurus kemudian, kudekatkan bibirku ketelinganya. Kubisikkan sesuatu.
            Duh, Gusti. Aku tidak mau kalau sampeyan nyalon Bupati pakai uang tabungan kita. Pokoknya, uang tabungan itu harus aman. Tak boleh diutak-atik. Itu kan tabungan buat beli rumah kita nanti,” nada bicara isteriku mulai meninggi. Matanya memerah dan kelopaknya mulai mengembun.
            “Kenapa sih, kamu menghalangi keinginanku? Ini kan demi masa depan keluarga kita juga, Dik!” emosiku mulai terpancing.
            Isteriku terdiam. Sesenggukan. Kepalanya menggeleng. “Aku tidak rela, Mas. Kita menabung sejak anak-anak masih balita. Mas berjanji akan membelikan aku dan anak-anak sebuah istana mungil yang elok. Ingat Mas, Rp. 73 juta itu bukan jumlah sedikit,” kata isteriku menimpali. Ia beranjak meninggalkan sofa. Tubuhnya lenyap dibalik pintu kamar. Aku kembali menghisap asap tembakau. Kupejamkan mata. Anganku melayang, membayangkan alangkah nikmat menjadi Bupati.
            “Mas Dasim, Mbak Asmi ada?” sekonyong-konyong pertanyaan itu membuyarkan lamunanku.
            “Oh, ada. Silahkan masuk,” kataku mempersilahkan Yasirah, sahabat karib isteriku, masuk ruang tamu. Segera kupanggil isteriku. Asmi, ibu dari anak-anakku segera keluar kamar dengan wajah cerah. Ah, beruntungnya punya istri seperti Asmi. Kini, tak tampak mendung yang tadi mengurung wajah manisnya. Tak tersisa hujan disudut matanya. Kubiarkan keduanya mengobrol diruang tamu. Aku masuk kamar. Langkahku menuju lemari, membongkar setumpukan baju yang tersusun rapi. Tujuanku hanya mencari buku mungil berlogo sebuah bank tempat kami menyimpan masa depan.

            Dua setengah bulan kemudian...
            Asmi, isteriku yang selalu kritis itu, masih kukuh menolak pencalonanku. Saat bertanya perihal dana kampanye, aku hanya bilang, uang yang akan aku gunakan berasal dari sumbangan kawan-kawan. Asmi kembali diam, dan berkonsentrasi mengembangkan kios milik kami di pasar. Aku menyuruh membikin tabungan baru untuk menampung hasil jualan selama dua bulan terakhir. Ia tidak bertanya lebih jauh, dan langsung membuka penampung receh hasil usaha kami.
            Ia belum tahu kalau tabungan masa depan kami terkuras habis. Rp. 73.770.500 dan hanya kusisakan Rp. 169.700. Diam-diam, aku juga mulai pinjam uang kawan-kawan. Tanpa sepengetahuan Asmi, aku menggadaikan BPKB sepeda motor satu-satunya milik kami. Nekat. Demi masa depan gemilang kuduga.
            Total dana yang terkumpul Rp. 116. 600. Separuhnya, telah kugunakan untuk cetak perkakas seperti stiker, kalender, kaos, spanduk, dst. “Coblos Madasim”, “Jangan Lupa Pilih Dasim”, “Orang Cerdas Pasti Pilih Nomor 2: Madasim”. Demikian nama dan fotoku terpampang disetiap media kampanye.
            Aku juga semakin rajin membangun citra. Menghadiri acara partai, menyeponsori acara khitanan, mendatangi pengajian, dan ini yang menggelikanku, semakin rajin berjama’ah di Masjid, tentu sambil mengisi kotak amal. Menggelikan, sebab selama ini shalat saja aku jarang. Aku masih kalah rajin dengan isteriku. Tapi tak masalah, semoga saja sifat rajin shalat berjama’ah ini tetap kupertahankan jika nanti menjadi Bupati.
            Dukungan dan janji setia datang dari tetangga dan kawan-kawan. Kebentuk tim sukses yang bertugas membangun citra dan popularitasku. Aku semakin yakin sebab tim suksesku selalu melaporkan hasil positif. Lelaki batin juga kulakukan atas petunjuk para dukun. Saban malam jum’at aku bahkan rela hanya pakai celana dalam berendam ditelaga Mbeji. Ada lagi dukun yang menyarankanku agar membeli sebuah pusaka yang konon memberi efek pada penampilanku. Puluhan bait mantra kuhapal dan kurapal setiap kali mau bersosialisasi. Banyak lagi ritual-ritual irasioanal yang kulampaui. Semua kulakukan demi mimpiku: Menjadi Bupati.
            Dalam kalkulasiku, uang sekian bisa balik modal dalam jangka waktu tak sampai dua bulan. Cara balik modal bisa dipikir belakangan saat aku jadi. Untuk level Bupati, dari partai merah sepertiku, dana yang kugunakan memang pas-pasan. Toh, aku tetap yakin.
            Tibalah saat menegangkan itu.
            Saat jantungku deg-degan, isteriku malah melihat santai. Aku tegang. Inilah hari yang kutunggu-tunggu. Menanti masa depan, demi keluarga, demi rakyat. Seusai mencoblos namaku, aku berharap-harap cemas sambil dikelilingi tim suksesku. Ada yang memijit kakiku, ada yang terus menyemangatiku, ada pula yang bertugas melaporkan hasil perhitungan suaraku. Jantungku berdegup makin kencang. Isteriku terlihat santai, menginjeksi semangat tetap optimis. Beginilah Asmi. Meski menentang keinginanku, tetapi ia selalu menjadi telaga ditengah kegersangan, memberi kesejukan ditengah ketidakpastian.
            “Tidak usah tegang begitu to. Mas Dasim kan sudah yakin kalau jadi. Bukankah keyakinan merupakan jalan setapak menuju keberhasilan?”
            Suara lembut itu menyangga semangatku. Mataku terkatup. Bayangan kesusahan antara aku dan isteriku di masa silam berkilas-kilas melintas, diselingi imajinasiku menjadi Bupati.
            “Mas Dasim istirahat dulu, tidur didalam kamar. Biar waktu bangun pikirannya bisa segar kembali,” kata Nuralim, keponakan sekaligus tim suksesku, yang sedari tadi memijat-mijat kakiku.

***
            Pria itu tetap berdiri sebagai patung. Di tengah remang kegelapan, ia persis seperti manekin. Diam membisu. Kaku. Wajahnya pias, melantunkan sebuah harapan kosong. Tiada asa di matanya. Tiada yang berubah dari sosoknya, kecuali malam ini.
            Cahaya bulan berpendar terang, menyiratkan sebuah lelaku alam. Suara anjing melolong di kejauhan diiringi rintih jangkrik sedang kawin. Lamat-lamat terdengar suara tiang listrik dipukul sekali, mengirim kabar bahwa sang waktu terus berganti. Selepas itu sunyi. Hening. Hanya semilir angin yang membisikkan sesuatu pada Madasim, pria yang masih mematung diri dipuncak hening malam.
            Madasim mulai menggigil. Tubuhnya bergetar hebat, lalu limbung. Napasnya tersenggal. Matanya terpejam, lalu melotot, terpejam, kemudian melotot. Ia mencoba berteriak. Tapi pita suaranya macet. Suasana tetap sunyi. Madasim menggeliat. Ia berguling, mengulung tubuhnya. Ada sesuatu yang hendak keluar dari jasad reniknya. Ia menahan pilu yang terasa meremukkan tulang-belulangnya. Ia mencoba bangkit, tapi kuda-kudanya terlalu lemah. Kedua tangannya tak mampu menyangga tubuhnya. Ia terjatuh. Kali ini disertai hentakan keras. Ada detak yang berhenti.
            Suasana hening mencekam. Alam tetap terpekur. Sesuatu itu keluar dari jasad Madasim yang tergolek kaku. Ia begitu lepas, bebas, seraya mengikuti desau angin yang mulai menghangat. Patung itu akhirnya roboh sudah.
            Waktu terus bergulir begitu cepat. Saat adzan subuh berkumandang. Pemulung sampah lewat di jalan, dimana ia sering melihat manusia yang berdiri mematung hingga pagi menjelang. Kali ini tubuhnya terasa lemas, sebab ia melihat jasad tanpa jiwa tergolek kaku di bawah tiang. Ia ambil langkah seribu. Hansip setempat yang dikabari datang tergopoh-gopoh disertai beberapa orang yang hendak ke Masjid. Mereka menatap jenazah Madasim. Ada sungging senyum tertinggal dibibirnya walaupun sedikit agak kecut. Pun mungkin harapan tersangkut dibenaknya, hingga ajal datang.
            Rombongan pentakziyah paling awal itu masih menggunjing siapa sebenarnya jenazah yang berada didepan mereka.
            “Namanya Madasim,” tukas Hansip memberi penjelasan.
            “Asalnya mana ya, Pak?”
            “Sejak kapan dia ada disini?”
            “Apa pekerjaannya”
            “Apa dia orang gila, ya?”
            “Apa tidak dicari keluarganya?”
            Rentetan pertanyaan itu ditunjukkan pada Hansip. Ia menggeleng pasrah.
            “Yang saya tahu cuma namanya saja, tidak lebih” jawabnya singkat.
            Polisi yang datang segera mengevakuasi jenazah. Selepas itu, warga semakin banyak berkerumun di tiang listrik sambil memperbincangkan almarhum.
            “Dia di sini kurang lebih sebulan yang lalu,” kata pemilik Warteg.
            “Dinasnya tiap malam, kalau siang nggak pernah nongol” sahut tukang sayur.
            “Keluarganya dimana, ya? Kok kayaknya tidak ada yang mengurus,” kata pemilik tambal ban setengah bertanya.
            Warga saling bergumam.
            “Eh, Pak. Lihat sobekan pamflet di tiang listrik ini,” kata pemilik Warteg. “Kok kayaknya tak asing dengan wajah ini, ya?”
            Warga mulai bergerombol mengamati sekilas sobekan pamflet yang tertempel di tiang listrik. Kertasnya terkelupas. Warnanya mulai memudar, hanya menyisakan sebuah wajah yang tampak tidak asing bagi warga yang biasa lewat di tiang listrik itu. (*)

Lamongan, 29 Juli 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar