Senja mulai menyapa dunia, lelaki paruh baya itu tetap
saja berdiri mematung di bawah tiang listrik, di depan rumahnya. Penampilannya
kusut dan lunglai, tubuhnya dibalut pakaian yang mulai memudar. Rambutnya yang
lusuh dan berantakan menjadi satu-satunya mahkota berharga yang dimilikinya,
pandangannya sayu dengan pelengkap wajahnya yang mulai pasi. Tak pernah nampak
alas kaki apapun yang melekat dikakinya. Tatapannya kosong, mulutnya selalu
terkunci tanpa sepatah kata.
Hampir
setiap malam menjelang, ia terus diam mematung di tiang itu. Kaku dan bisu
menyatu. Tidak ada seorangpun peduli dengannya. Orang seakan enggan membuang
waktu untuk sekedar bertanya: mengapa, bagaimana, dan untuk apa ia berdinas di
bawah tiang listrik itu. Hanya malam saja. Yah, hanya saban malam. Tidak pernah
terlihat pria itu dibawah mentari siang hari. Pemilik Warteg yang berjarak dua
puluh meter di samping kanan pria itu berdiri hanya menyilangkan tangan di
dahinya setiap kali orang bertanya tentang pria misterius itu.
“Tidak tahu asalnya dari
mana. Hampir sebulan ia berada di bawah tiang listrik itu,” jawab si pemilik
warung tiap kali orang bertanya identitas pria itu. Sebatas itulah wanita tua
pemilik warung itu mengenal pria yang ia sebut sinting itu. Selebihnya, ia
menggeleng. Hanya, kepada para penanya, sebuah nama kerap ia tinggalkan:
Madasim. Rupanya nama pria itu Madasim.
***
“Mas
yakin mau nyalon Bupati?” tanya isteriku saat kuutarakan niat malam itu.
“Menurutmu
bagaimana?” aku balik bertanya, untuk menggiringnya agar optimis sepertiku.
“Aku
sih selalu mendukungmu, Mas. Tapi apa tidak dipikir dulu matang-matang.
Bagaimana strategi kampanyenya? Siapa kira-kira yang akan mencoblos sampeyan?
Dan yang paling penting berapa dana yang harus dikeluarkan?” Isteriku mulai
kritis.
Kugeser
posisi dudukku, sekedar memberi ruang agar kami bebas bercakap. Aku tersenyum,
menatap matanya tajam, dan meremas jemarinya yang lembut.
“Yakinlah
Dik, insya Allah aku menang. Semua sudah kuhitung dan kupikir masak-masak.
Optimis dong!” aku mulai meyakinkan. Alih-alih memberi pertimbangan, isteriku
malah melengos.
“Aku
tidak setuju, Mas. Bukan apa-apa. Tapi lihat kondisi kita dong. Rumah
masih ngontrak. Jualan juga tak seramai dulu. Biaya sekolah anak kita juga
selangit. Terus, Mas tahu sendiri kan, kalau nyalon Bupati itu butuh bondho
akeh. Kita mau pakai uang siapa?” Isteriku mulai berceramah.
Aku
berusaha untuk tersenyum. “Meskipun kios kita tak seramai dulu, hasilnya kan
masih cukup buat bayar sekolah anak-anak dan buat makan sehari-hari,” kataku
tenang. Kuambil sebatang rokok dan kunyalakan, biar pikiranku tetap fresh.
“Nanti kalau sudah jadi Bupati. Bukankah aku dapat gaji
besar, tunjangan lumayan, dan mobil dinas? Diberi rumah dinas pula.
Paling-paling, dua atau tiga bulan sudah balik modal. Sudahlah Dik, yang
penting sekarang....”
“Lha
iya Mas, nggawe bondhone sopo?” potong Isteriku. Wajahnya tampak acuh.
Ia menarik jemarinya dari genggamanku. Sifat kerasnya mulai timbul.
Sejurus
kemudian, kudekatkan bibirku ketelinganya. Kubisikkan sesuatu.
“Duh,
Gusti. Aku tidak mau kalau sampeyan nyalon Bupati pakai uang tabungan
kita. Pokoknya, uang tabungan itu harus aman. Tak boleh diutak-atik. Itu kan
tabungan buat beli rumah kita nanti,” nada bicara isteriku mulai meninggi.
Matanya memerah dan kelopaknya mulai mengembun.
“Kenapa
sih, kamu menghalangi keinginanku? Ini kan demi masa depan keluarga kita
juga, Dik!” emosiku mulai terpancing.
Isteriku
terdiam. Sesenggukan. Kepalanya menggeleng. “Aku tidak rela, Mas. Kita menabung
sejak anak-anak masih balita. Mas berjanji akan membelikan aku dan anak-anak
sebuah istana mungil yang elok. Ingat Mas, Rp. 73 juta itu bukan jumlah
sedikit,” kata isteriku menimpali. Ia beranjak meninggalkan sofa. Tubuhnya
lenyap dibalik pintu kamar. Aku kembali menghisap asap tembakau. Kupejamkan
mata. Anganku melayang, membayangkan alangkah nikmat menjadi Bupati.
“Mas
Dasim, Mbak Asmi ada?” sekonyong-konyong pertanyaan itu membuyarkan lamunanku.
“Oh,
ada. Silahkan masuk,” kataku mempersilahkan Yasirah, sahabat karib isteriku,
masuk ruang tamu. Segera kupanggil isteriku. Asmi, ibu dari anak-anakku segera
keluar kamar dengan wajah cerah. Ah, beruntungnya punya istri seperti Asmi.
Kini, tak tampak mendung yang tadi mengurung wajah manisnya. Tak tersisa hujan
disudut matanya. Kubiarkan keduanya mengobrol diruang tamu. Aku masuk kamar.
Langkahku menuju lemari, membongkar setumpukan baju yang tersusun rapi.
Tujuanku hanya mencari buku mungil berlogo sebuah bank tempat kami menyimpan
masa depan.
Dua
setengah bulan kemudian...
Asmi,
isteriku yang selalu kritis itu, masih kukuh menolak pencalonanku. Saat
bertanya perihal dana kampanye, aku hanya bilang, uang yang akan aku gunakan
berasal dari sumbangan kawan-kawan. Asmi kembali diam, dan berkonsentrasi
mengembangkan kios milik kami di pasar. Aku menyuruh membikin tabungan baru
untuk menampung hasil jualan selama dua bulan terakhir. Ia tidak bertanya lebih
jauh, dan langsung membuka penampung receh hasil usaha kami.
Ia
belum tahu kalau tabungan masa depan kami terkuras habis. Rp. 73.770.500 dan
hanya kusisakan Rp. 169.700. Diam-diam, aku juga mulai pinjam uang kawan-kawan.
Tanpa sepengetahuan Asmi, aku menggadaikan BPKB sepeda motor satu-satunya milik
kami. Nekat. Demi masa depan gemilang kuduga.
Total
dana yang terkumpul Rp. 116. 600. Separuhnya, telah kugunakan untuk cetak
perkakas seperti stiker, kalender, kaos, spanduk, dst. “Coblos Madasim”,
“Jangan Lupa Pilih Dasim”, “Orang Cerdas Pasti Pilih Nomor 2: Madasim”.
Demikian nama dan fotoku terpampang disetiap media kampanye.
Aku
juga semakin rajin membangun citra. Menghadiri acara partai, menyeponsori acara
khitanan, mendatangi pengajian, dan ini yang menggelikanku, semakin rajin
berjama’ah di Masjid, tentu sambil mengisi kotak amal. Menggelikan, sebab
selama ini shalat saja aku jarang. Aku masih kalah rajin dengan isteriku. Tapi
tak masalah, semoga saja sifat rajin shalat berjama’ah ini tetap kupertahankan
jika nanti menjadi Bupati.
Dukungan
dan janji setia datang dari tetangga dan kawan-kawan. Kebentuk tim sukses yang
bertugas membangun citra dan popularitasku. Aku semakin yakin sebab tim
suksesku selalu melaporkan hasil positif. Lelaki batin juga kulakukan atas
petunjuk para dukun. Saban malam jum’at aku bahkan rela hanya pakai celana
dalam berendam ditelaga Mbeji. Ada lagi dukun yang menyarankanku agar
membeli sebuah pusaka yang konon memberi efek pada penampilanku. Puluhan bait
mantra kuhapal dan kurapal setiap kali mau bersosialisasi. Banyak lagi
ritual-ritual irasioanal yang kulampaui. Semua kulakukan demi mimpiku: Menjadi Bupati.
Dalam
kalkulasiku, uang sekian bisa balik modal dalam jangka waktu tak sampai dua
bulan. Cara balik modal bisa dipikir belakangan saat aku jadi. Untuk level Bupati,
dari partai merah sepertiku, dana yang kugunakan memang pas-pasan. Toh,
aku tetap yakin.
Tibalah
saat menegangkan itu.
Saat
jantungku deg-degan, isteriku malah melihat santai. Aku tegang. Inilah hari
yang kutunggu-tunggu. Menanti masa depan, demi keluarga, demi rakyat. Seusai
mencoblos namaku, aku berharap-harap cemas sambil dikelilingi tim suksesku. Ada
yang memijit kakiku, ada yang terus menyemangatiku, ada pula yang bertugas melaporkan
hasil perhitungan suaraku. Jantungku berdegup makin kencang. Isteriku terlihat
santai, menginjeksi semangat tetap optimis. Beginilah Asmi. Meski menentang
keinginanku, tetapi ia selalu menjadi telaga ditengah kegersangan, memberi
kesejukan ditengah ketidakpastian.
“Tidak
usah tegang begitu to. Mas Dasim kan sudah yakin kalau jadi. Bukankah
keyakinan merupakan jalan setapak menuju keberhasilan?”
Suara
lembut itu menyangga semangatku. Mataku terkatup. Bayangan kesusahan antara aku
dan isteriku di masa silam berkilas-kilas melintas, diselingi imajinasiku
menjadi Bupati.
“Mas
Dasim istirahat dulu, tidur didalam kamar. Biar waktu bangun pikirannya bisa
segar kembali,” kata Nuralim, keponakan sekaligus tim suksesku, yang sedari
tadi memijat-mijat kakiku.
***
Pria
itu tetap berdiri sebagai patung. Di tengah remang kegelapan, ia persis seperti
manekin. Diam membisu. Kaku. Wajahnya pias, melantunkan sebuah harapan kosong.
Tiada asa di matanya. Tiada yang berubah dari sosoknya, kecuali malam ini.
Cahaya
bulan berpendar terang, menyiratkan sebuah lelaku alam. Suara anjing melolong
di kejauhan diiringi rintih jangkrik sedang kawin. Lamat-lamat terdengar suara
tiang listrik dipukul sekali, mengirim kabar bahwa sang waktu terus berganti.
Selepas itu sunyi. Hening. Hanya semilir angin yang membisikkan sesuatu pada
Madasim, pria yang masih mematung diri dipuncak hening malam.
Madasim
mulai menggigil. Tubuhnya bergetar hebat, lalu limbung. Napasnya tersenggal.
Matanya terpejam, lalu melotot, terpejam, kemudian melotot. Ia mencoba
berteriak. Tapi pita suaranya macet. Suasana tetap sunyi. Madasim menggeliat.
Ia berguling, mengulung tubuhnya. Ada sesuatu yang hendak keluar dari jasad
reniknya. Ia menahan pilu yang terasa meremukkan tulang-belulangnya. Ia mencoba
bangkit, tapi kuda-kudanya terlalu lemah. Kedua tangannya tak mampu menyangga
tubuhnya. Ia terjatuh. Kali ini disertai hentakan keras. Ada detak yang
berhenti.
Suasana
hening mencekam. Alam tetap terpekur. Sesuatu itu keluar dari jasad Madasim
yang tergolek kaku. Ia begitu lepas, bebas, seraya mengikuti desau angin yang
mulai menghangat. Patung itu akhirnya roboh sudah.
Waktu
terus bergulir begitu cepat. Saat adzan subuh berkumandang. Pemulung sampah
lewat di jalan, dimana ia sering melihat manusia yang berdiri mematung hingga pagi
menjelang. Kali ini tubuhnya terasa lemas, sebab ia melihat jasad tanpa jiwa
tergolek kaku di bawah tiang. Ia ambil langkah seribu. Hansip setempat yang
dikabari datang tergopoh-gopoh disertai beberapa orang yang hendak ke Masjid. Mereka
menatap jenazah Madasim. Ada sungging senyum tertinggal dibibirnya walaupun
sedikit agak kecut. Pun mungkin harapan tersangkut dibenaknya, hingga ajal
datang.
Rombongan
pentakziyah paling awal itu masih menggunjing siapa sebenarnya jenazah yang berada
didepan mereka.
“Namanya
Madasim,” tukas Hansip memberi penjelasan.
“Asalnya
mana ya, Pak?”
“Sejak
kapan dia ada disini?”
“Apa
pekerjaannya”
“Apa
dia orang gila, ya?”
“Apa
tidak dicari keluarganya?”
Rentetan
pertanyaan itu ditunjukkan pada Hansip. Ia menggeleng pasrah.
“Yang
saya tahu cuma namanya saja, tidak lebih” jawabnya singkat.
Polisi
yang datang segera mengevakuasi jenazah. Selepas itu, warga semakin banyak
berkerumun di tiang listrik sambil memperbincangkan almarhum.
“Dia
di sini kurang lebih sebulan yang lalu,” kata pemilik Warteg.
“Dinasnya
tiap malam, kalau siang nggak pernah nongol” sahut tukang sayur.
“Keluarganya
dimana, ya? Kok kayaknya tidak ada yang mengurus,” kata pemilik tambal ban
setengah bertanya.
Warga
saling bergumam.
“Eh,
Pak. Lihat sobekan pamflet di tiang listrik ini,” kata pemilik Warteg. “Kok
kayaknya tak asing dengan wajah ini, ya?”
Warga
mulai bergerombol mengamati sekilas sobekan pamflet yang tertempel di tiang
listrik. Kertasnya terkelupas. Warnanya mulai memudar, hanya menyisakan sebuah
wajah yang tampak tidak asing bagi warga yang biasa lewat di tiang listrik itu.
(*)
Lamongan, 29 Juli 2012